Mentari begitu bersemangat menampakkan sinarnya pada dunia, begitu terik hingga membakar kulit. Tak ada angin segar, hanya ada polusi debu menerpa mata. Sedihnya nasib orang di luar sana yang durhaka pada dunia. Entah kekacauan apa saja yang terjadi diluar sana, tapi yang pasti seorang gadis remaja ini aman dari segala kekacauan kota. Ia adalah Ambara-seorang gadis remaja yang begitu semangat jika itu menyangkut alam. ia menjadikan dirinya garda terdepan untuk menjaganya. Ambara tengah menikmati waktu liburnya di kediaman nyaman milik Nenek Jika di luar sana tak ada angin segar sedikitpun, disinilah tempat yang tepat untuk menemukannya.

Ia terduduk di atas rerumputan yang begitu hijau di bawah pohon mahoni yang begitu rindang beralaskan tikar berwarna muda. Rambut cokelat tebal miliknya tersapu angin segar. Sembari menikmati sapuan angin itu, ia menegak segelas jus apel buatan nenek yang sangat membantu dahaganya. Ambara melihat seorang perempuan tua mendekatinya sembari membawa sepiring klepon. Nenek Maudy namanya-seorang profesor teknologi masa depan yang tak mendapat perhatian dunia, hanya karena karyanya itu tak akan berguna bagi masa sekarang. Benda-benda yang dibuatnya itu mampu memajukan peradaban, namun hanya dipandang sebelah mata belaka.

Nenek terduduk di samping Ambara lalu memberikan makanan kesukaan cucunya. Nenek mengamati alam, begitupun dengan Ambara. Mereka terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing. Melihat kondisi alam yang kini perlahan memburuk membuat Ambara merasa sedih dan prihatin. “Nek, apa kau pernah terpikirkan bagaimana jika selama ini bumi menyuarakan isi hatinya lewat bencana?” Tanya Ambara pada nenek, “Dan bagaimana jika selama ini bisa menyuarakannya lewat bahasa manusia. Namun kita yang tak mendengarnya karena kegiatan manusia yang memendam suara itu?” Nenek kembali melontarkan pertanyaan pada Ambara. “Bisa jadi pula nek, apakah tak ada alat yang mendukung?” Mereka saling melontarkan pertanyaan satu sama lain, membuat masing-masing kembali larut dalam pikiran. “Hmm… maka kita harus mendahuluinya!” Seru nenek dengan semangat. “Mari ikut bersama nenek untuk mencari apa yang bisa kita gunakan.” Ajak nenek pada Ambara untuk mengikutinya. Ia mengekori langkah neneknya menuju tempat rongsokkan pribadi milik nenek.

Mereka telah sampai disebuah box yang begitu besar dan penuh dengan benda-benda tak bertuah milik nenek, hasil dari percobaan yang gagal. “Daripada kita membuang limbah tak berdosa itu, lebih baik kita mengambilnya untuk melindungi alam.” Ucap nenek pada Ambara yang dibalas oleh anggukkan. Mereka mengambil sebuah robot yang masih dalam kondisi yang sempurna. Warna silver yang dimilikinya memberikan kesan keren yang tercipta untuk kalangan robot. Sementara nenek mengambil alat-alat canggih yang diperlukan, Ambara memegang robot itu lalu membawanya menuju tikar yang ia gunakan bersama nenek. Ia menikmati klepon buatan nenek yang dipadukan dengan segelas jus apel yang semakin segar dengan es batu menjadi pelengkapnya. Sesaat setelah semua camilan itu habis, nenek datang dengan box berisi alat canggih miliknya. Melihat itu membuat Ambara menghampiri nenek untuk membantu membawanya. Namun Nenek hanya membalaskan, “Tak perlu nak, nenek masih kuat walau umurku sudah senja.” Sarkas Nenek pada Ambara.

Nenek berjalan mendahului Ambara lalu menaruh alat-alat itu di atas tikar. Nenek memulai memperbaiki robot itu dengan seksama, sembari Ambara yang membantu memberikan alat yang dibutuhkan nenek. Perlahan-lahan, hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk memodifikasi robot itu. Nenek telah menyelesaikannya hingga hari mulai berganti petang. Ambara membawa robot itu pulang keruamahnya untuk diuji coba, setelah nenek memastikan robot itu berfungsi dengan baik.

Keesokannya bahkan sebelum mentari sepenuhnya menampakkan sinarnya. Ambara tak sabar untuk menggunakan robot itu, ia membawa robot itu untuk berdiri bersama di atas tanah. Membiarkan robot itu bekerja selagi ia melakukan aktifitas pagi lainnya. Kemudian, membantu ibunya membersihkan rumah dan melakukan aktifitas biasanya. Hari mulai terik kembali, cuaca panas mulai mendominasi dunia. Ambara duduk termenung menunggu bumi bersuara di depan teras rumahnya mencari suasana dingin di lantai rumahnya. Begitu lama ia menunggu hingga kantuk mulai melanda. Ambara bersiap mengambil waktunya untuk tidur, tetapi sepatah kata mulai muncul dari robot itu. “Halo!” Ucapnya, membuat Ambara terkejut mendengarnya. Ia mulai mendekati robot itu dan menatapnya dengan seksama seraya mengucapkan, “Halo? Siapa dirimu?” Tanya Ambara. “Oh hai! Aku bumi, akhrinya manusia dapat mendengarku. Siapa engkau?” Ambara sangat senang mendengarnya, rasa senang itu tak dapat dilontarkan namun hanya dapat diekspresikan. “Aku Ambara! Aku sangat mengidolakan dirimu, wahai Bumi!” Sorak Ambara.

“Baguslah itu, aku ingin berbicara denganmu.” Ucap Bumi dengan ramah yang justru menampilkan tanda tanya dibenak Ambara. Bumi mulai bercerita, dengan bagaimana tingkah manusia yang perlahan semakin tak tau batasnya. Disaat manusia menebang pohon, disitulah bumi merasakan rambut miliknya satu persatu tercabut. Saat manusia membakar lahan hutan, disitulah ia merasakan demam tinggi. Disaat manusia membakar membuang sampah pada aliran sungai, disitulah bumi merasakan keringatnya menghitam. Sungguh kejam manusia membiarkan bumi tersiksa. Bumi tak dapat berbuat apa-apa selayaknya manusia, hanya bisa meraung dengan menciptakan bencana.

Bumi bercerita, Ambara menanggapinya dengan kesedihan. “Hei kau, janganlah bersedih. Aku tak bermaksud membuatmu bersedih, itu sudah biasa bagiku.” Ucapan Bumi membuat Ambara semakin larut dalam kesedihan. “Aku tak tau bagaimana dirimu merasakan kepedihan itu seorang diri. Tapi aku tau bagaimana kejamnya manusia memperlakukanmu” Jawab Ambara. “Hmm… aku rasa aku tak dapat berlama-lama, sampai jumpa nanti, manusia baik!” Bumi memutus koneksinya, dan meninggalkan Ambara dalam kesedihan. Ia bangkit menuju rumah, termenung dalam kesedihan membuatnya terpikirkan apa yang akan ia lakukan untuk Bumi.

Ambara memasuki kamarnya, lalu duduk di sebuah kursi belajar miliknya. Ia mencatat apa yang ia dengarkan dari bumi, di buku catatan kecil miliknya. Buku itu akan menjadi buku harian Sang Bumi yang akan menjadi pelajaran baginya. Namun, ia berharap manusia lainnya dapat mengikuti langkahnya. Ambara menghampiri robot itu untuk kesekian kalinya, berharap ia dapat berbicara dengan bumi sekali lagi. Ambara duduk termenung di sebelah robot yang tak bersuara itu. Ia mempunyai ide jika menjadikan mading kosong di depan rumahnya itu menjadi papan informasi kondisi bumi saat ini. Ambara menunggu sekali lagi hingga setengah jam lamanya, seraya memandangi robot itu. Ia berniat tertidur disamping robot itu, dengan menopang dagunya. Ambara tertidur, hingga telinganya sayup-sayup mendengar kalimat sekali lagi. “Hai! Aku kembali!” Ucapnya. Ambara seketika membuka matanya yang masih mengantuk. “Hai juga! Darimana kau?” Tanyanya pada Bumi, “Manusia tak boleh tau.” Jawab Sang Bumi yang justru dibalas oleh senyuman oleh Ambara. Mereka bercengkrama dan bertukar cerita satu sama lain. Namun cerita Bumi semakin terdengar memilukan, tetapi Ambara tak ada energi untuk bersedih sekali lagi.

Hari semakin petang, malam mulai datang membuat suasana yang semakin tenang. Semua orang beristirahat dari aktifitasnya, bagitu pula dengan Ambara. Namun, ditengah ketenangannya itu ia mempersiapkan untuk membuat mading yang telah ia rencanakan tadi siang. Disela-sela kegiatannya itu, Ambara semakin tak tenang dengan kondisi Bumi yang kian memburuk. Waktu demi waktu berlalu, Ambara telah menyelesaikan bahan madingnya. Setelah semuanya telah siap, ia bersiap diri untuk menyelam dialam mimpi yang menunggunya.

Hari yang baru menghadirkan suasana yang baru pula, Ambara bangun pagi dengan semangat untuk memasang mading yang ia tempel. Selembar kertas berisi Suara Sang Bumi yang ia tulis tertempel sempurna di depan mading besar itu. Ia berharap dengan usahanya ini dapat membuat semua orang tersadarkan. Terlihat dari kejauhan, Ambara dapat melihat seseorang yang sedang berlari pagi menghampirinya. Orang itu bertanya pada Ambara, “Apa yang kau tempelkan itu? Sepertinya itu mimpimu malam tadi ya?” Tanya orang itu yang terdengar seperti ejekan bagi Ambara. “Kau salah paham, ini murni suara bumi. Jika kau tak percaya cobalah robot disana.” Jawab Ambara, “Tak perlu, seperti anak kecil saja.” Ucap seorang itu seraya melanjutkan lari paginya. Ambara tak memasukkan hati ucapan seorang itu, ia tak peduli bagaimana seseorang memandangnya.

Semakin hari, mading itu dipenuhi lembaran kertas berkat usaha Ambara. Ia terduduk di samping mading itu menunggu seseorang memperhatikan mading yang ia buat. Semakin lama pula Ambara menemani mading itu seorang diri, semakin banyak pula kerumunan orang-orang yang menghampiri dirinya sembari mengatakan, “Aku kira ini dongeng, ternyata lebih dari itu. Ini tak akan berguna.” Ucap satu orang dari kerumunan itu yang menghadirkan gelak tawa. “Terserah kalian saja, jika tak percaya kalian dapat mendengar suara hati bumi di robot ini.” Jawab Ambara seraya menunjuk robot miliknya yang ada di sampingnya. “Baiklah jika kau memaksa, kami akan mencoba.” Seorang itu lantas menghampiri robot tersebut dan mengucapkan satu kalimat, “Halo! Apa kau benar-benar bumi yang kami tinggali?” Sapa orang itu, namun beberapa menit tak ada jawaban darinya. “Kau membohongi kami, menyita waktu saja!” Sorak orang itu sembari melangkahkan kakinya menjauhi robot itu. “Halo! Ya benar aku bumi, apa kau manusia baik?” Dengan tiba-tiba robot itu bersuara seperti halnya saat ia berbicara pada Ambara.

Jawaban dari robot itu membuat semua orang terkejut dan terkagum-kagum, mereka kembali mendekat padanya dan memulai bercakap-cakap layaknya seorang teman. Percakapan mereka diabadikan disebuah rekaman video, banyak orang meviralkannya membuat semua dunia gempar. Ramai orang berbondong-bondong mendatangi kediaman Ambara demi melihat robot itu, bahkan seorang pejabat pun menghampirinya. Suasana semakin riuh dan penuh desakkan, banyak orang yang mempercayai adanya suara hati bumi. Namun tak sedikit pula dari mereka yang tak percaya. Suara hati Bumi yang memilukan membuat sebagian orang merasakan penyesalan dalam hidupnya. Mereka bersama-sama berusaha menyelamatkan Bumi dengan meghilangkan kebiasaan buruk mereka yang dapat merusak dunia

Tanpa mereka sadari, gerakan kecil mereka itu dapat mengubah bumi menjadi sedikit membaik. Gerakan kecil itu mampu membuat semua orang tersadarkan sekejam apa mereka pada alam. Kini misi Ambara telah berhasil menyelamatkan dunia, ia mendapat apresiasi dari segala penjuru dunia. Ambara menghampiri kediaman Neneknya untuk mengembalikan robot itu, ia berbincang-bincang dengan neneknya. “Nenek, terimakasih banyak telah meminjamkan alatmu ini, aku begitu bangga dengan nenek.” Ucapnya seraya memeluk nenek dengan erat. “Tak perlu, sebenarnya nenek akan membawa kejutan untukmu, dengarkanlah.” Ucap nenek dengan serius.

Tangan keriputnya menggenggam erat tangan kecil Ambara seraya mengatakan, “Janganlah sampai perkataanku ini menyulut emosimu nak. Sebenarnya ini bagian dari misi utama nenek pula, suara bumi itu bukan berasal dari buminya langsung, akan tetapi itu adalah suaraku yang mengubah segalanya.” Ucap nenek yang dibalas oleh Ambara dengan senyumannya. “Tak apa nek, aku juga tak berharap jika bumi dapat berbicara.” Jawabnya diiringi gelak tawa dari keduanya. Dua perempuan ini, mengubah dunia. Begitupun dengan teknologi yang dapat mengubah segalanya. Dari yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Karya : Nabila Aulia Putri